Ditulis oleh Nur Shafa Taufiqa (ALSA LC Universitas Airlangga)

Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan suatu lembaga negara independen semu negara yang bersifat komplementer (state auxiliary organ) yang terpisah dari kekuasaan dan kontrol pemerintah ataupun lembaga kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam melakukan penegakan hukum di bidang persaingan usaha. Kehadiran KPPU diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dengan terlaksananya peraturan ini secara efektif sebagaimana asas serta tujuan yang telah diatur melalui tugas serta kewenangan KPPU yang termaktub secara eksplisit dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk mengawasi dan menangani segala bentuk tindakan maupun perjanjian yang tercantum dalam undang-undang ini. Lalu bagaimana dengan perkara-perkara yang tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999? Artikel ini akan membahas mengenai landasan kewenangan KPPU dalam memutuskan pelanggaran diluar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang secara spesifik pada perjanjian kemitraan.
A. Apa itu Perjanjian Kemitraan?
Perjanjian kemitraan merupakan suatu perjanjian hubungan kerjasama antara pelaku usaha besar maupun menengah yang mengikatkan diri dengan pelaku usaha kecil guna terselenggaranya usaha yang lebih kuat di dalam perekonomian yang didasarkan atas dasar saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021. Perjanjian kemitraan yang kerap dilakukan oleh pelaku usaha besar dengan UMKM umumnya merupakan proses alih keterampilan yang disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing pihak, baik itu dalam hal pengelolaan, produksi, pemasaran, ataupun teknologi. Adanya perbedaan kebutuhan dalam melakukan perjanjian kemitraan menjadikan perjanjian kemitraan dapat dilakukan dengan beberapa pola sebagaimana Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, seperti inti-plasma, subkontrak, waralaba, dan sebagainya.
B. Perjanjian Kemitraan dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha
Pada hakikatnya perjanjian kemitraan merupakan perjanjian yang melibatkan keberlanjutan suatu usaha di dalam pasar serta pelaku usaha yang ada di dalamnya, sehingga sudah menjadi salah satu tugas dari KPPU untuk melakukan pengawasan serta penilaian terhadap segala bentuk perjanjian yang mengakibatkan atau mengindikasi adanya tindakan monopoli ataupun persaingan usaha tidak sehat lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pada realitanya, pelanggaran Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menjadi contoh nyata ketidakselarasan das sollen dan das sein atas kaidah hukum yang diharapkan dengan kenyataan yang ada karena kerap menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Maka dari itu, perjanjian kemitraan menjadi salah satu bentuk pelaksanaan yang diawasi dan masuk ke dalam ranah persaingan usaha karena bentuk perjanjian yang dilakukan dapat saja berpotensi mematikan atau menghilangkan kemampuan pelaku usaha lain dalam menjalankan usahanya.
C. Kewenangan KPPU dalam Menangani Perkara Kemitraan
Kehadiran KPPU diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dengan terlaksananya peraturan ini secara efektif sebagaimana asas serta tujuan yang telah diatur melalui tugas serta kewenangan KPPU yang termaktub secara eksplisit dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Landasan kewenangan KPPU dalam memeriksa, menangani, dan memutuskan suatu perkara yang berada di luar rezim Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah melakukan penilaian serta pertimbangan terhadap tindakan ataupun perjanjian yang memiliki dampak terjadinya monopoli ataupun persaingan usaha yang tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Ayat (2). Oleh karena itu, kewenangan KPPU dalam memutus perkara dalam perjanjian kemitraan hanya dapat dilakukan apabila berkaitan dengan penguasaan atau pendominasian salah satu pelaku usaha dalam perjanjian tersebut, sehingga dalam pembuktiannya harus menggunakan dasar dan mekanisme sebagaimana hukum acara pada persaingan usaha yang bersifat nyata (naked restraint).
Comments